Jakarta, Mei 2025 – Dunia properti tengah diguncang oleh lonjakan biaya konstruksi yang mencapai 30 persen dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari melejitnya harga bahan bangunan, kelangkaan tenaga kerja terampil, hingga gangguan rantai pasok global. Dampaknya, banyak investor properti kini harus menghitung ulang strategi mereka. Apakah ini menjadi akhir dari masa keemasan investasi properti?

Kenaikan Biaya Bahan Bangunan

Lonjakan harga bahan bangunan menjadi salah satu penyebab utama. Semen, baja, dan bahan finishing mengalami peningkatan harga yang signifikan. Misalnya, harga baja konstruksi naik hampir 40 persen sejak awal 2024. Selain itu, biaya pengangkutan logistik juga meningkat, seiring naiknya harga bahan bakar dan hambatan pengiriman internasional.

“Dulu kami bisa memperkirakan biaya pembangunan gedung dengan lebih stabil. Sekarang, margin error bisa jauh lebih tinggi karena harga material berubah setiap bulan,” ujar Adi Nugroho, pengembang properti di kawasan Jabodetabek.

Proyek Tertunda, Margin Tergerus

Para pengembang kini menghadapi dilema. Menunda proyek berarti kehilangan momentum pasar, namun melanjutkan pembangunan dengan biaya membengkak dapat memangkas margin keuntungan secara drastis. Dalam beberapa kasus, proyek bahkan ditangguhkan tanpa kejelasan, menimbulkan ketidakpastian bagi pembeli dan investor.

Investor properti yang mengandalkan capital gain jangka pendek pun mulai waswas. Dengan biaya konstruksi yang melonjak, harga jual properti tentu ikut terdongkrak, namun permintaan belum tentu mengimbangi.

Pasar Bergeser ke Properti Sekunder?

Tren saat ini menunjukkan adanya pergeseran minat investor dari properti baru (primary market) ke properti sekunder (secondary market). Unit properti siap huni yang sudah tersedia di pasar sekunder kini menjadi alternatif lebih realistis bagi investor yang ingin menghindari risiko konstruksi dan penundaan proyek.

“Properti sekunder menjadi lebih menarik karena harganya relatif lebih stabil dan bisa langsung menghasilkan cash flow dari sewa,” kata Dina Rachmawati, analis properti dari sebuah firma konsultan.

Apa Langkah Investor?

Kondisi ini menuntut investor untuk lebih selektif. Evaluasi lokasi, reputasi pengembang, serta rencana penggunaan jangka panjang menjadi semakin krusial. Diversifikasi portofolio ke instrumen non-properti juga mulai dipertimbangkan sebagai langkah lindung nilai (hedging) terhadap volatilitas pasar.

Selain itu, sebagian pengembang mencoba berinovasi dengan teknologi konstruksi yang lebih efisien, seperti modular construction dan penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan yang lebih terjangkau dalam jangka panjang.

Kesimpulan

Lonjakan biaya konstruksi hingga 30 persen merupakan tantangan besar bagi industri properti dan para investornya. Meski bukan akhir dari segalanya, kondisi ini menuntut pergeseran strategi dan pendekatan yang lebih cermat. Investor yang mampu beradaptasi dengan realitas baru ini—dan tidak sekadar tergiur oleh proyeksi keuntungan cepat—masih memiliki peluang untuk bertahan, bahkan berkembang.

By zadmin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *